Published On: Sel, Sep 29th, 2015

Nishob Zakat Bisa Dijadikan Patokan untuk Penentuan Upah Minimum yang Mensejahterakan

10294416_10201878258894883_2464342139496341461_nWK – Jakarta, Setiap menjelang akhir tahun, kota-kota padat industri pasti disuguhi kehebohan tahunan, yaitu penetapan upah minimum kabupaten/kota. Hal ini menginspirasi praktisi perburuhan/ketenagakerjaan Budi Setiadi untuk memberikan gagasan solutif mengenai penetapan upah minimum tersebut.

“Secara aturan dan juklak/juknisnya, dari pemerintah pusat sudah ada, dan sangat rinci mulai dari siapa dan apa yang akan disurvei untuk menentukan penetapan upah minimum tersebut. Namun walaupun sudah lengkap juklak/juknisnya, anehnya setiap penetapan upah selalu ramai dan heboh dan selalu ada berita buruh turun ke jalan,” ungkap Budi dalam akun twitternya (Minggu, 27/9/2015).

“Berarti, ada hal mendasar yang belum selesai dalam penetapan upah. Jadi sampai kapanpun akan terus begini,” tegasnya.

“Pemerintah kabarnya sudah menyiapkan RUU pengupahan, dan menurut berita RUU ini sudah disampaikan oleh Kemenaker kepada presiden. Tapi dari perkiraan isinya, tidak ada hal mendasar yang disentuh kecuali hal yang sangat dibenci buruh, yaitu penetapan upah 5 tahun sekali,” paparnya.

Filosofi upah yaitu bentuk penghargaan terhadap kerja yang dilakukan oleh pekerja, karena sudah bekerja untuk majikan. Dalam UU 13/2003, definisi pekerja adalah orang yang bekerja bukan untuk dirinya, dan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Oleh karena itu, upah bagi seorang buruh secara umum adalah tumpuan harapan satu-satunya untuk bisa mencukupi kebutuhan (perkecualian tetap ada). Karena merupakan tumpuan satu-satunya, maka buruh akan mati-matian memperjuangkan upahnya setinggi mungkin, disebabkan kebutuhan hidup yang selalu meningkat.

Sementara di sisi lain, pengusaha menganggap upah sebagai cost wajib yang mesti dikeluarkan (umumnya begitu, walaupun ada perkecualian). Upah atau labour cost berada pada pos pengeluaran, satu kolom dengan power suply, materials, tax dan lain-lain. Ada juga ILEGAL BUREAUCRATIC COST. Apapun judul di pos pengeluaran, siapapun yang mampu menekannya akan mendapat nilai positif dari owner, karena ada saving di sana.

Upah menjadi komponen pengeluaran yang paling mudah untuk ditekan. Tidak mudah nego pajak, energi, bahan baku, tapi upah bisa diakali. Tidak mudah mempertemukan dua cara pandang ini, aturan bisa dibuat, tapi para pihak punya cara pandang masing-masing terhadap aturan itu.

Budi mengatakan, “Tentang penetapan upah, ada hal yang lucu, coba baca berita ini: republika.co.id/berita/koran/k…. Menaker dan Presiden berusaha menekan upah dg cara penetapan 5 tahun sekali, sementara kawannya di DPR berkoar-koar tentang upah yang rendah.”

“Silakan pakai semua cara untuk meningkatkan upah, tapi selama tidak ada pijakan ideologis yang mendasarinya, pasti akan selalu ada keramaian. Buruh kan cuma ingin bisa hidup sejahtera, dan sebagian mereka memandang upah sebagai satu-satunya jalan untuk mendapatkan kesejahteraan,” cetusnya.

“Untuk itu DEFINISIKAN dulu sejahtera seperti apa yang akan menjadi acuan. Kalo gagal mendefinisikan sejahtera, sampai kapanpun masalah upah takkan selesai. Sejahtera, jika memakai ukuran materi, selamanya akan selalu ada tuntutan baru, kemarin punya HP sudah sejahtera, sekarang tidak lagi. Dulu yang sejahtera cuma yang bisa bersekolah, sekarang bahkan sekolahpun ada yang digratiskan, tapi tetap belum sejahtera. Selama memakai standar materi untuk merumuskan definisi sejahtera, boleh jadi setiap tahun pengertian sejahtera harus diperbaharui,” paparnya.

“Jadi, bukan item upah saja yang musti direview tiap tahun, batasan sejahterapun bisa menuntut untuk ditinjau ulang, jika standarnya materi. Harus ada konsensus antara buruh dengan pengusaha terkait dengan batasan sejahtera. Jika tidak semuanya, minimal sebagian pekerja dan pengusaha. Jadi, harus ada definisi dan batasan sejahtera yang minimal diterima oleh sebagian besar pekerja dan pengusaha, kalo semua jelas gak mungkin,” lanjutnya.

“Di awal sudah disampaikan bahwa jika batasan sejahtera-nya materialis, selalu ada tuntutan untuk ditinjau, direvisi, dan diperbaiki. Kenapa kita nggak berpikir sesuatu yang ideologis, bahwa ada ideologi yang menetapkan batasan sejahtera dengan sedehana, dan sangat praktis. Soalan mendasar terhadap batasan ideologis ini adalah mau atau tidak untuk menerimanya, karena sifatnya ideologis, bisa jadi banyak yang nolak,” bebernya.

“Dan karena Indonesia mengklaim diri sebagai bukan negara agama, maka bisa jadi ini menjadi sesuatu yang di awang-awang, tapi BISA dilaksanakan jika mau. Ada wacana yang hangat di bahas di masjid/musholla di pabrik kawasan industri, tentang batasan ‘sejahtera’ yang menjadi acuan penetapan UMK. Siapapun akan disebut sejahtera, berapapun tanggungan keluarganya, jika mampu untuk membayar ZAKAT, kalo belum mampu berarti belum sejahtera,” sambungnya.

“Jadi, batas minimum upah yang mensejahterakan = senilai dengan nishob zakat, di bawah itu berarti dia tidak sejahtera atau mustahik,” tegasnya.

“Masalahnya, jangankan pengusaha yang non muslim, pengusaha muslim pun bisa banyak yang keberatan dengan batasan upah ini. Nilainya mungkin dirasa terlalu tinggi untuk ukuran kemampuan pengusaha supaya produknya bisa bersaing. Tapi coba bandingkan dengan upah versi @rieke_diah (Rieke Diah Pitaloka/RDP) di republika yang link-nya tadi saya share, nishob zakat masih berada dibawahnya,” tukasnya.

“Ada banyak kepraktisan penetapan upah minimum yang disesuaikan dengan nishob zakat. pertama tak usah ada survei kebutuhan yang itemnya selalu berubah. Kedua, tak perlu ada batasan upah minimum untuk lajang, kelurga tanpa anak, keluarga dengan anak 1,2, dan seterusnya, karena semua dipukul rata. Ketiga, emas sangat stabil nilai tukarnya, dengan menggunakan acuan harga emas, belum ada satu kekuatan ekonomi yang bisa mengatur harga emas,” tuturnya.

“Mengenai versi mana yang akan dipakai, bisa kita diskusikan lebih lanjut, tapi wacana upah yang men-sejahterakan ini semakin ramai dibicarakan. Beberapa kawan di dewan pengupahan nasional cukup agresif untuk menuntut tambahan item upah yang disurvei, makin banyak item, makin tinggi hasilnya. Bahkan survei sepihak dari buruh pun mendapatkan nilai kebutuhan minimum diatas 5 juta rupiah perbulan untuk buruh yang sdh berkeluarga. Jika ini dibiarkan, yang muncul adalah kuat-kuatan dan siapa memanfaatkan siapa. Buruh akan tetap gigit jari dengan upah rendahnya,” lanjutnya.

“Berapa sih nilai nishob zakat yang menjadi pembeda antara sejahtera dan tidak sejahtera? ada 2 versi. kita akan bahas di lain waktu. Poin dalam sharing kali ini, apakah kita mau dan siap untuk mewacanakan penetapan upah dengan batasan yang ideologis, bukan materialis. Semoga bisa menjadi bahan diskusi bersama, terimakasih” pungkasnya. (*)

 

Sumber: Kultwit @budi_buruh (Budi Setiadi), Minggu (27/9/2015), http://t.co/QswEunC9dG.

 

Komentar